Enam perusak Ukhuwah
Pada masyarakat Islam, persatuan dan kesatuan atau lebih sering
disebut dengan ukhuwah Islamiyah merupakan sesuatu yang sangat penting
dan mendasar, apalagi hal ini merupakan salah satu ukuran keimanan yang
sejati. Karena itu, ketika Nabi Saw berhijrah ke Madinah, yang pertama
dilakukannya adalah Al-Muakhah, yakni mempersaudarakan sahabat
dari Makkah atau muhajirin dengan sahabat yang berada di Madinah atau
kaum Anshar.
Satu hal yang harus diingat bahwa, ketika ukhuwah islamiyah hendak diperkokoh atau malah sudah kokoh, ada saja upaya orang-orang yang tidak suka terhadap persaudaraan kaum muslimin, mereka berusaha untuk merusak hubungan di antara sesama kaum muslimin dengan menyebarkan fitnah dan berbagai berita bohong. Dalam kehidupan umat Islam, kita akui bahwa ukhuwah Islamiyah belum berwujud secara ideal, namun musuh-musuh umat ini tidak suka bila ukhuwah itu berwujud, mereka terus berusaha menghambatnya.
Asbabun nuzul (sebab turunnya ayat) tersebut di atas adalah, suatu ketika Al-Harits datang menghadap Nabi Muhammad saw., beliau mengajaknya masuk Islam, bahkan sesudah masuk Islam ia menyatakan kemauan dan kesanggupannya untuk membayar zakat. Kepada Rasulullah, Al-Harits menyatakan, “Saya akan pulang ke kampung saya untuk mengajak orang untuk masuk Islam dan membayar zakat dan bila sudah sampai waktunya, kirimkanlah utusan untuk mengambilnya.” Namun ketika zakat sudah banyak dikumpulkan dan sudah tiba waktu yang disepakati oleh Rasul, ternyata utusan beliau belum juga datang. Maka Al-Harits beserta rombongan berangkat untuk menyerahkan zakat itu kepada Nabi.
Sementara itu, Rasulullah saw. mengutus Al-Walid bin Uqbah untuk mengambil zakat, namun di tengah perjalanan hati Al-Walid merasa gentar dan menyampaikan laporan yang tidak benar, yakni Al-Harits tidak mau menyerahkan dana zakat, bahkan ia akan dibunuhnya. Rasulullah tidak langsung begitu saja percaya, beliau pun mengutus lagi beberapa sahabat yang lain untuk menemui Al-Harits. Ketika utusan itu bertemu dengan Al-Harits, ia berkata, “Kami diutus kepadamu.” Al-Harits bertanya, “Mengapa?” Para sahabat menjawab, “Sesungguhnya Rasulullah telah mengutus Al-Walid bin Uqbah, ia mengatakan bahwa engkau tidak mau menyerahkan zakat bahkan mau membunuhnya.”
Al-Harits menjawab, “Demi Allah yang telah mengutus Muhammad dengan sebenar-benarnya, aku tidak melihatnya dan tidak ada yang datang kepadaku.” Maka ketika mereka sampai kepada Nabi saw., beliau pun bertanya, “Apakah benar engkau menahan zakat dan hendak membunuh utusanku?” “Demi Allah yang telah mengutusmu dengan sebenar-benarnya, aku tidak berbuat demikian.” Maka turunlah ayat itu.
Surat Al Hujurat ayat 6 di atas menggunakan kata naba’ bukan khabar.
Dari ayat di atas, ada enam hal yang harus kita hindari agar ukhuwah islamiyah tetap terpelihara:
Ketiga, memanggil orang lain dengan panggilan gelar-gelar yang tidak disukai. Kekurangan secara fisik bukanlah menjadi alasan bagi kita untuk memanggil orang lain dengan keadaan fisiknya itu. Orang yang pendek tidak mesti kita panggil si pendek, orang yang badannya gemuk tidak harus kita panggil dengan si gembrot, begitulah seterusnya karena panggilan-panggilan seperti itu bukan sesuatu yang menyenangkan.
Keempat, berburuk sangka, ini merupakan sikap yang bermula dari iri hati (hasad). Akibatnya ia berburuk sangka bila seseorang mendapatkan kenimatan atau keberhasilan. Sikap seperti harus dicegah karena akan menimbulkan sikap-sikap buruk lainnya yang bisa merusak ukhuwah islamiyah.
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa ketika ukhuwah islamiyah kita dambakan perwujudannya, maka segala yang bisa merusaknya harus kita hindari. Bila ukhuwah sudah terwujud, yang bisa merasakan manfaatnya bukan hanya sesama kaum muslimin, tapi juga umat manusia dan alam semesta, karena Islam merupakan agama yang membawa rahmat bagi seluruh alam. Karenanya mewujudkan ukhuwah Islamiyah merupakan kebutuhan penting dalam kehidupan ini.
Ini berarti, ketika seseorang atau suatu masyarakat
beriman, maka seharusnya ukhuwah Islamiyah yang didasari oleh iman
menjelma dalam kehidupan sehari-hari, Allah swt. berfirman, “Sesungguhnya
mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu
dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” [QS Al-Hujurat (49):10]
Satu hal yang harus diingat bahwa, ketika ukhuwah islamiyah hendak diperkokoh atau malah sudah kokoh, ada saja upaya orang-orang yang tidak suka terhadap persaudaraan kaum muslimin, mereka berusaha untuk merusak hubungan di antara sesama kaum muslimin dengan menyebarkan fitnah dan berbagai berita bohong. Dalam kehidupan umat Islam, kita akui bahwa ukhuwah Islamiyah belum berwujud secara ideal, namun musuh-musuh umat ini tidak suka bila ukhuwah itu berwujud, mereka terus berusaha menghambatnya.
Karena itu, setiap kali ada berita buruk, kita tidak
boleh langsung mempercayainya, tapi lakukan tabayyun atau cek dan ricek
terlebih dahulu kebenaran berita itu. Allah swt. berfirman, “Hai
orang-orang yang beriman, apabila datang kepadamu orang fasik membawa
suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan
suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya sehingga
kamu akan menyesal atas perbuatanmu itu.” [QS Al-Hujurat (49): 6]
Asbabun nuzul (sebab turunnya ayat) tersebut di atas adalah, suatu ketika Al-Harits datang menghadap Nabi Muhammad saw., beliau mengajaknya masuk Islam, bahkan sesudah masuk Islam ia menyatakan kemauan dan kesanggupannya untuk membayar zakat. Kepada Rasulullah, Al-Harits menyatakan, “Saya akan pulang ke kampung saya untuk mengajak orang untuk masuk Islam dan membayar zakat dan bila sudah sampai waktunya, kirimkanlah utusan untuk mengambilnya.” Namun ketika zakat sudah banyak dikumpulkan dan sudah tiba waktu yang disepakati oleh Rasul, ternyata utusan beliau belum juga datang. Maka Al-Harits beserta rombongan berangkat untuk menyerahkan zakat itu kepada Nabi.
Sementara itu, Rasulullah saw. mengutus Al-Walid bin Uqbah untuk mengambil zakat, namun di tengah perjalanan hati Al-Walid merasa gentar dan menyampaikan laporan yang tidak benar, yakni Al-Harits tidak mau menyerahkan dana zakat, bahkan ia akan dibunuhnya. Rasulullah tidak langsung begitu saja percaya, beliau pun mengutus lagi beberapa sahabat yang lain untuk menemui Al-Harits. Ketika utusan itu bertemu dengan Al-Harits, ia berkata, “Kami diutus kepadamu.” Al-Harits bertanya, “Mengapa?” Para sahabat menjawab, “Sesungguhnya Rasulullah telah mengutus Al-Walid bin Uqbah, ia mengatakan bahwa engkau tidak mau menyerahkan zakat bahkan mau membunuhnya.”
Al-Harits menjawab, “Demi Allah yang telah mengutus Muhammad dengan sebenar-benarnya, aku tidak melihatnya dan tidak ada yang datang kepadaku.” Maka ketika mereka sampai kepada Nabi saw., beliau pun bertanya, “Apakah benar engkau menahan zakat dan hendak membunuh utusanku?” “Demi Allah yang telah mengutusmu dengan sebenar-benarnya, aku tidak berbuat demikian.” Maka turunlah ayat itu.
Surat Al Hujurat ayat 6 di atas menggunakan kata naba’ bukan khabar.
M. Quraish Shihab dalam bukunya Secercah Cahaya Ilahi halaman 262 membedakan makna dua kata itu. “Kata naba’ menunjukkan berita penting, sedangkan khabar
menunjukkan berita secara umum. Al-Qur’an memberi petunjuk bahwa berita
yang perlu diperhatikan dan diselidiki adalah berita yang sifatnya
penting. Adapun isu-isu ringan, omong kosong, dan berita yang tidak
bermanfaat tidak perlu diselidiki, bahkan tidak perlu didengarkan karena
hanya akan menyita waktu dan energi.”
Enam Perusak Ukhuwah
Mengingat kedudukan ukhuwah islamiyah yang sedemikian penting, maka memeliharanya menjadi sesuatu yang amat ditekankan. Disamping harus mengecek kebenaran suatu berita buruk yang menyangkut saudara kita yang muslim, ada beberapa hal yang harus kita hindari agar ukhuwah islamiyah bisa tetap terpelihara.
Mengingat kedudukan ukhuwah islamiyah yang sedemikian penting, maka memeliharanya menjadi sesuatu yang amat ditekankan. Disamping harus mengecek kebenaran suatu berita buruk yang menyangkut saudara kita yang muslim, ada beberapa hal yang harus kita hindari agar ukhuwah islamiyah bisa tetap terpelihara.
Allah swt berfirman, “Hai orang-orang
yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokan kaum yang lain
(karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokan) lebih baik dari mereka
(yang mengolok-olokan) dan jangan pula wanita wanita-wanita
mengolok-olokan wanita yang lain (karena) boleh jadi wanita (yang
diperolok-olokan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokan) dan
janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil
memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah
(panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak
bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. Hai orang-orang
yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian
prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan
orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain.
Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah
mati?. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha
Penyayang.” [QS Al-Hujurat (49): 11-12]
Dari ayat di atas, ada enam hal yang harus kita hindari agar ukhuwah islamiyah tetap terpelihara:
Pertama,
memperolok-olokan, baik antar individu maupun antar kelompok, baik
dengan kata-kata maupun dengan bahasa isyarat karena hal ini dapat
menimbulkan rasa sakit hati, kemarahan dan permusuhan. Manakala kita
tidak suka diolok-olok, maka janganlah kita memperolok-olok, apalagi
belum tentu orang yang kita olok-olok itu lebih buruk dari diri kita.
Kedua,
mencaci atau menghina orang lain dengan kata-kata yang menyakitkan,
apalagi bila kalimat penghinaan itu bukan sesuatu yang benar. Manusia
yang suka menghina berarti merendahkan orang lain, dan iapun akan jatuh
martabatnya.
Ketiga, memanggil orang lain dengan panggilan gelar-gelar yang tidak disukai. Kekurangan secara fisik bukanlah menjadi alasan bagi kita untuk memanggil orang lain dengan keadaan fisiknya itu. Orang yang pendek tidak mesti kita panggil si pendek, orang yang badannya gemuk tidak harus kita panggil dengan si gembrot, begitulah seterusnya karena panggilan-panggilan seperti itu bukan sesuatu yang menyenangkan.
Memanggil orang dengan gelar sifat yang
buruk juga tidak dibolehkan meskipun sifat itu memang dimilikinya,
misalnya karena si A sering berbohong, maka dipanggillah ia dengan si
pembohong, padahal sekarang sifatnya justru sudah jujur tapi gelar si
pembohong tetap melekat pada dirinya. Karenanya jangan dipanggil
seseorang dengan gelar-gelar yang buruk.
Keempat, berburuk sangka, ini merupakan sikap yang bermula dari iri hati (hasad). Akibatnya ia berburuk sangka bila seseorang mendapatkan kenimatan atau keberhasilan. Sikap seperti harus dicegah karena akan menimbulkan sikap-sikap buruk lainnya yang bisa merusak ukhuwah islamiyah.
Kelima, mencari-cari kesalahan
orang lain, hal ini karena memang tidak ada perlunya bagi kita, mencari
kesalahan diri sendiri lebih baik untuk kita lakukan agar kita bisa
memperbaiki diri sendiri.
Keenam, bergunjing
dengan membicarakan keadaan orang lain yang bila ia ketahui tentu tidak
menyukainya, apalagi bila hal itu menyangkut rahasia pribadi seseorang.
Manakala kita mengetahui rahasia orang lain yang ia tidak suka bila hal
itu diketahui orang lain, maka menjadi amanah bagi kita untuk tidak
membicarakannya.
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa ketika ukhuwah islamiyah kita dambakan perwujudannya, maka segala yang bisa merusaknya harus kita hindari. Bila ukhuwah sudah terwujud, yang bisa merasakan manfaatnya bukan hanya sesama kaum muslimin, tapi juga umat manusia dan alam semesta, karena Islam merupakan agama yang membawa rahmat bagi seluruh alam. Karenanya mewujudkan ukhuwah Islamiyah merupakan kebutuhan penting dalam kehidupan ini.
Komentar
Posting Komentar